Rabu, 25 Mei 2016

DERITA ANAK PERANTAUAN + ANAK KOST



Sudah hampir setahun aku tinggal di kota yang terkenal sebagai kota pelajar ini. Menjalani kehidupan sebagai seorang mahasiswi perantauan sekaligus sebagai anak kost bukanlah hal yang mudah. Butuh kekuatan, kesabaran, dan daya tahan banting yang tinggi agar mampu menyelesaikan studi dengan baik. Bagi mereka yang terbiasa dengan kehidupan yang serba ada dan kadang di kehidupannya disebut anak “manja” akan sedikit sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan seperti ini.
Memiliki keluarga yang jauh dari pandangan dan harus berpisah selama tiga sampai enam bulan bukanlah hal yang menyenangkan. Kadangkala ketika hidup sedang susah-susahnya, disitulah kami sangat membutuhkan dukungan dan kasih sayang mereka. Terutama ketika kami para anak kost sedang menghadapi krisis moneter. Di saat seperti itulah kadang kami atau aku pribadi merasakan homesick . Rindu akan masakan orang tua terutama masakan ibu. Rindu akan tawa dan canda mereka. Rindu akan semua hal yang ada di diri mereka.
Awalnya ketika memutuskan akan menjalani kehidupan sebagai sebatang kara di kota yang jauh dari tempat asalku, aku berpikir bahwa semua ini akan menyenangkan. Ya! Ini memang menyenangkan terutama karena aku bisa bergerak bebas dan bisa mencoba untuk hidup mandiri. Akan tetapi, ketika masa-masa kelam itu datang dan aku harus benar-benar berdiri sendiri serta menghadapi semuanya sendiri tanpa bantuan atau support dari orang tersayang, aku seringkali merasa drop. Namun, melihat perjuangan orang tua yang nun jauh disana mencari uang dari pagi sampai sore atau bahkan malam hari hanya demi anaknya kuliah, aku kembali lagi semangat. Mau tidak mau, rajin ataupun malas, pokoknya demi mereka yang mencari nafkah, aku harus mampu membuat diriku bangun dari semua masa kelam itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar